a) Strategi perjuangan bangsa Indonesia secara
diplomasi
Setelah Indonesia berhasil
menyelesaikan masalahnya sendiri dalam konferensi Inter-Indonesia, kini bangsa
Indonesia secara keseluruhan telah siap menghadapi Konferensi Meja Bundar
(KMB). Sementara itu pada bulan Agustus 1949, Presiden Soekarno sebagai Panglima
Tertinggi di satu pihak dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda dipihak lain,
mengumumkan pemberhentian tembak-menembak. Perintah itu berlaku efektif mulai
tanggal 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah
Sumatera.pada tanggal 4 Agustus 1949 pemerintah Republik Indonesia menyusun
delegasi untuk menghadiri KMB yang terdiri dari Drs Moh.Hatta (Ketua), Mr.
Moh.Roem, Prof. Dr. Soepomo, dr.J.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Mr. Suyono
Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo.
Konferensi Meja Bundar
diselenggrakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai dengan
tanggal 2 November 1949. Delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh Hatta, BFO
dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak KMB dan delegasi dari Belanda
dipimpin oleh Mr. Van Marseveen. Dari PBB dipimpin oleh Crittchlay.
Pada tanggal 2 November 1949
perundingan diakhiri dengan keputusan sebagai berikut :
- Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat
- Penyelesaian soal Irian Barat ditangguhkan samapi tahun berikutnya
- RIS sebagai negara erdaulat penuh kerjasama dengan Belanda dalam suatu perserikatan yang kepalai oleh Ratu Belanda atas dasar sukarela dengan kedudukan dan hak yang sama.
- RIS mengembalikan hak milik Belanda, memberikan hak konsensi, dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan.
- Semua utang bekas Hindia Belanda harus di bayar oleh RIS
b) System politik ketatanegaraan pada
masa RIS
Bentuk Negara Republik Indonesia
pada kurun waktu 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 adalah federal dengan
sistem pemerintahan parlementer. Kabinet bertanggung jawab kepada parlementer (
Dewan Perwakilan Rakyat ),dan apabila pertanggungjawaban itu tidak
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka dapat menyebabkan bubarnya kabinet.
Berikut adalah lembaga negara ( alat
– alat perlengkapan federal RIS );
a.
Presiden
b.
Menteri – menteri
c.
Senat
d.
Dewan Perwakilan Rakyat
e.
Mahkamah Agung Indonesia
f.
Dewan Pengawas Keuangan
Di antara badan – badan ( kekuasaan
) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan pengawasan.
Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut ;
1. Kekuasaan pembentukan perundang-
undangan ( legislative ) yang dijalankan oleh pemerintah bersama – sama dengan
DPR dan senat.
2. Kekuasaan melaksanakan perundang –
undangan atau pemerintahan negara ( eksekutif ) yang dilakukan oleh pemerintah.
3. Kekuasaan mengadili pelanggaran
perundang – undangan ( yudikatif oleh Mahkamah Agung ).
Konstitusi RIS yang bersifat federal
federalistik tidaksesuai dengan semangat proklamasi, Pancasila, dan kepribadian
bangsa. Oleh karena itu, muncul reaksi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga pemerintah federal mengeluarkan UU Darurat No. 11 / 1950, tentang tata
cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Keadaan itu mendorong RIS berunding
dengan Republik Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan. Tanggal 19 Mei 1950,
disepakati membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
UUDS 1950.
Berdasarkan UUD RIS bentuk negara
kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah
otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
- Sumatera Timur,
- Sumatera Selatan,
- Pasundan,
- Jawa Timur,
- Madura,
- Negara Indonesia Timur, dan
- Republik Indonesia (RI).
Sedangkan kesembilan daerah otonom
itu adalah:
- Riau
- Bangka,
- Belitung,
- Kalimantan Barat,
- Dayak Besar,
- Banjar,
- Kalimantan Tenggara,
- Kalimantan Timur, dan
- Jawa Tengah.
Negara - negara bagian di atas serta
daerah - daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak dapat bergerak sendiri)
adalah ciptaan Belanda. Negara - negara boneka ini dimaksudkan akan
dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di
dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita - citakan
oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita - cita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira - kira enam
bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945
menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia.
Hal inilah yang menjadi alasan bangsa
Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan
golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis)
semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang
menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond
Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di Sulawesi
Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
c) Gerakan unitaris
Petualangan APRA (Angkatan Perang
Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak
puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut
dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI.
Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang - undang darurat
yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara
(RIS), Sewaka.
Gerakan
yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan
negara - negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu
cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara
bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia
Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950
Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI
menjadi negara kesatuan.
Melihat
dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan
antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur
dari Negara Sumatera Timur. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh pihak unitaris
yang bertolak belakang dengan golongan federalis ini memang sudah begitu
nampak, padahal pada saat itu mereka berada dalam satu payung negara RIS.
Karena pada tanggal 14 Desember 1949 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta,
para wakilnya dari 16 Negara bagian RIS telah menandatangani Undang Undang
Dasar Sementara sebagai Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dimana
ke-16 wakil-wakil dari Negara Bagian RIS itu adalah
·
Mr.
Susanto Tirtoprodjo (Republik Indonesia),
·
Sultan
Hamid II (Kalimantan Barat),
·
Ide
Anak Agoeng Gde Agoeng (Indonesia Timur),
·
R.A.A.
Tjakraningrat (Madura),
·
Mohammad
Hanafiah (Banjar),
·
Mohammad
Jusuf Rasidi (Bangka),
·
K.A.
Mohammad Jusuf (Belitung),
·
Muhran
bin Haji Ali (Dayak Besar),
·
Dr.
R.V. Sudjito (Jawa Tengah),
·
Raden
Soedarmo (Jawa Timur),
·
M.
Jamani (Kalimantan Tenggara),
·
A.P.
Sosronegoro (Kalimantan Timur),
·
Mr.
Djumhana Wiriatmadja (Pasundan),
·
Radja
Mohammad (Riau),
·
Abdul
Malik (Sumatra Selatan), dan
·
Radja
Kaliamsyah Sinaga (Sumatra Timur).
Akhirnya
pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang
juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini
dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering
disebut dengan PiagamPersetujuan, yang isinya sebagai berikut:
- Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
- Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari
kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan
dengan cara mengubah Undang Undang Dasar RIS menjadi Undang - Undang Dasar
Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus
1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat
itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang
diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi
berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet Presidensiil.
d) Proses Kembalinya Republik Indonesia
sebagai Negara Kesatuan
Bagian penting dari keputusan KMB
adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat. Memang hasil KMB
diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia, namun hanya “ setengah hati.” Hal
ini terbukti dengan munculnya perbedaan dan pertentangan antarkelompok bangsa.
Dua kekuatan besar yang saling berseberangan yaitu:
1. kelompok unitaris, artinya kelompok pendukung Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. kelompok pendukung Negara Federal-RIS.
Dampak dari terbentuknya Negara RIS
adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945, melainkan Konstitusi RIS
tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden dipegang oleh Ir. Soekarno,
dan Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Perlu diingat bahwa dalam
Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan wakil presiden. Berdasarkan
pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi pemerintah
kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa Indonesia sehingga Belanda
akan mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Republik Indonesia.
Kelompok ini sangat menentang dan menolak ide federasi dalam bentuk negara RIS.
Pada akhirnya kelompok unitaris
semakin memperoleh simpati. Berikut ini sejumlah faktor yang memengaruhi proses
kembalinya negara RIS menjadi NKRI.
1. Bentuk negara RIS bertentangan dengan cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Pembentukan negara RIS tidak sesuai dengan kehendak
rakyat.
3. Bentuk RIS pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial
Belanda yang tetap ingin berkuasa di Indonesia.
4. Berbagai masalah dan kendala politik, ekonomi, sosial,
dan sumber daya manusia dihadapi oleh negara-negara bagian RIS.
Pada tanggal 17 Agustus 1950,
Presiden Soekarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI. Peristiwa ini juga
menandai berakhirnya bentuk RIS. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
e)
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Pasca Pengakuan Kedaulatan
Pasca pengakuan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di
bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini masalah-masalah tersebut.
1. Belum terwujudnya kemerdekaan
ekonomi
Kondisi perekonomian Indonesia pasca
pengakuan kedaulatan masih dikuasai oleh asing. Untuk itu para ekonom menggagas
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu
tokoh ekonom itu adalah Sumitro Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa
Indonesia harus selekasnya ditumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal
lemah harus diberi bantuan modal. Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi
Program Benteng. Tujuannya untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Ternyata
program benteng mengalami kegagalan. Banyak pengusaha yang menyalahgunakan
bantuan kredit untuk mencari keuntungan secara cepat.
2. Perkebunan dan
instalasi-instalasi industri rusak
Akibat penjajahan dan perjuangan
fisik, banyak sarana prasarana dan instalasi industri mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan kemacetan dalam bidang industri, kondisi ini mempengaruhi
perekonomian nasional.
3. Jumlah penduduk meningkat cukup
tajam
Pada pasca pengakuan kedaulatan,
laju pertumbuhan penduduk meningkat. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk
Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa. Tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju
pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada peningkatan impor makanan.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja meningkat.
Kondisi tersebut mendorong terjadinya urbanisasi.
4. Utang negara meningkat dan
inflasi cukup tinggi
Setelah pengakuan kedaulatan,
ekonomi Indonesia tidak stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang
negara dan meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia meningkat karena Ir.
Surachman (selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari pinjaman ke luar negeri
untuk mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu, tingkat inflasi
Indonesia meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia di pasar tidak
dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga barang-barang kebutuhan
naik. Untuk mengurangi inflasi, pemerintah melakukan sanering pada tanggal 19
Maret 1950. Sanering adalah kebijakan pemotongan uang. Uang yang bernilai
Rp,5,- ke atas berlaku setengahnya.
5. Defisit dalam perdagangan
internasional
Perdagangan internasional Indonesia
menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor
selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah
merosot akibat berbagai kerusakan.
6. Kekurangan tenaga ahli untuk
menuju ekonomi nasional
Pada awal pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang
ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli
masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu
Mr. Iskaq Tjokroadikusuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini
mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Langkahnya dengan
mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga bangsa Indonesia.
7. Rendahnya Penanaman
Modal Asing (PMA) akibat konflik Irian Barat.
Akibat konflik Irian Barat kondisi
politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi
asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di
Indonesia.